Absolute.co.id, (Gorontalo) — Pernyataan orang tua Alwi Lapananda, dr. Alaludin Lapananda, yang membela beredarnya video adegan ciuman antara dua pejabat daerah, masing-masing anggota DPRD Gorontalo Utara dan DPRD Kota Gorontalo, menuai beragam reaksi publik.
Dalam keterangannya yang dikutip dari salah satu media, dr. Alaludin menjelaskan bahwa video tersebut direkam pada Desember 2024, dan pada waktu itu kedua keluarga sudah sepakat untuk lamaran dan tunangan, bahkan tengah membahas tanggal pernikahan.
“Video itu sebenarnya sudah lama, direkam pada Desember 2024. Saat itu kedua keluarga sudah sepakat untuk lamaran dan tunangan, tinggal membicarakan tanggal pernikahan,” ujar dr. Alaludin.
Namun, pernyataan tersebut belum mampu meredam kritik publik. Banyak pihak menilai bahwa, meskipun hubungan keduanya telah berada dalam tahap serius, adegan mesra sebelum pernikahan tetap tidak pantas dilakukan, terutama oleh pejabat publik yang memiliki tanggung jawab moral di hadapan masyarakat.
Menurut Hamid Toliu, setiap pejabat publik harus memahami bahwa ruang gerak pribadinya dibatasi oleh nilai kepatutan dan norma sosial.
“Seorang anggota DPRD bukan hanya pribadi biasa. Ia membawa simbol moral rakyat. Ketika tindakannya, meski bersifat pribadi, menjadi konsumsi publik, maka yang dipertaruhkan bukan lagi urusan cinta, tetapi kepercayaan publik,” tegas Hamid.
Ia menilai bahwa pembelaan orang tua tidak dapat dijadikan alasan pemaaf, karena yang menjadi sorotan bukan kapan video itu dibuat, melainkan bagaimana tindakan tersebut mencederai etika jabatan dan norma sosial yang dijunjung di Gorontalo.
Di Gorontalo, nilai adat bersandar pada falsafah “Adati hula-hula’a to syaraa, syaraa hula-hula’a to Kitabullah”. Adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Kitabullah. Prinsip ini menegaskan bahwa perilaku masyarakat, terlebih pejabat publik, harus sejalan dengan ajaran agama dan moralitas sosial.
Sementara itu, dalam budaya Bugis, konsep “Siri’ na Pacce” menjadi ukuran martabat seseorang. Siri’ berarti rasa malu dan kehormatan, sedangkan Pacce mencerminkan empati dan solidaritas terhadap sesama.
Sementara itu, tindakan seperti berciuman di luar ikatan sah, apalagi dilakukan oleh figur publik, berpotensi melanggar dua prinsip dasar tersebut.
“Dalam adat Bugis, Siri’ adalah nyawa kehormatan. Jika rasa malu hilang, maka rusaklah martabat seseorang. Begitu juga di Gorontalo, di mana adat dan agama saling mengikat. Jadi, meski sudah bertunangan, belum sah tetap tidak boleh melewati batas moral,”
Prjabat publik seharusnya menjadi contoh perilaku yang beradab, bukan justru menimbulkan polemik moral di ruang publik.
Peristiwa ini juga menjadi cermin bagi lembaga DPRD untuk mempertegas kembali kode etik dan tanggung jawab moral anggotanya. Di era media sosial, batas antara ruang privat dan publik menjadi kabur.
Namun pejabat publik semestinya memahami bahwa setiap tindakan, baik disengaja maupun tidak akan selalu dikaitkan dengan marwah lembaga yang diwakilinya.
Saya menilai bahwa fenomena seperti ini menunjukkan rapuhnya kesadaran etis di kalangan pejabat muda.
“Kita tidak sedang menghakimi cinta dua insan. Tapi publik menuntut kepekaan etika. Jika perilaku seperti ini dianggap lumrah, maka nilai malu dan tanggung jawab publik akan terkikis dari generasi ke generasi,” jelasnya.
Pembelaan keluarga tentu manusiawi. Namun, dalam ruang publik, pembenaran personal tidak menghapus pelanggaran etik dan adat.
Cinta memang fitrah manusia, tetapi di hadapan publik, cinta tetap harus dibingkai dengan rasa malu, tanggung jawab, dan kehormatan budaya.
Masyarakat Gorontalo dan Bugis patut mengingatkan bahwa jabatan bukan hanya soal kekuasaan, tetapi tentang bagaimana menjaga marwah diri, keluarga, dan lembaga.
Karena pada akhirnya, pejabat publik dinilai bukan dari kata-kata, tetapi dari keteladanan sikap dan tindakan.



