Oleh: Andi Muh. Maulana Asmar
Peserta Advance Training LK3 HMI Badko Sul-Sel 2025
Absolute.co.id, (Opini) – Pembangunan nasional tidak semata perkara statistik ekonomi, infrastruktur, atau teknologi. Ia adalah persoalan peradaban. Dan tidak ada peradaban yang benar benar maju tanpa melibatkan perempuan sebagai subjek sejarah. Dalam konteks Indonesia Emas 2045, keadilan gender bukan aksesoris pembangunan, melainkan fondasi etis dan eksistensial. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), melalui nilai luhur Insan Cita, menempatkan keadilan sosial sebagai misi utama perjuangan. Maka perjuangan perempuan dalam pembangunan adalah bagian tak terpisahkan dari panggilan ideologis dan spiritual HMI.
Perempuan: Antara Eksistensi dan Rekognisi
Dalam filsafat eksistensialisme, Simone de Beauvoir pernah menulis dalam The Second Sex (1949), “One is not born, but rather becomes, a woman.” Ia tidak hanya mengkritik subordinasi perempuan, tapi menegaskan bahwa identitas perempuan dibentuk oleh konstruksi sosial yang membatasi ruang mereka sebagai manusia seutuhnya. Kritik ini sejalan dengan kenyataan perempuan Indonesia hari ini: hadir, namun seringkali tak diakui peran strategisnya dalam pembangunan bangsa.
Sementara itu, dalam khazanah pemikiran Islam, kita menemukan pesan yang bahkan lebih progresif. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Perempuan adalah saudara kandung laki-laki” (HR. Abu Dawud). Pernyataan ini mengandung prinsip kesetaraan spiritual dan moral yang meletakkan perempuan sebagai mitra sejajar dalam membangun masyarakat. Dalam sejarah Islam, sosok seperti Khadijah binti Khuwailid, pebisnis dan penopang awal dakwah Islam, atau Aisyah RA, intelektual dan perawi hadits, menunjukkan bahwa peran perempuan bukan pengecualian, melainkan norma dalam masyarakat yang adil.
Insan Cita: Landasan Etis dalam Perjuangan Emansipasi
Insan Cita, sebagai konsep kader ideal HMI, merumuskan cita menjadi insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur. Ini bukan sekadar definisi kader, melainkan visi etis dan spiritual tentang manusia yang aktif membebaskan termasuk membebaskan perempuan dari ketertindasan struktural.
Dalam konteks ini, perjuangan perempuan untuk terlibat aktif dalam pembangunan adalah perwujudan nyata dari Insan Cita. Mereka bukan sekadar pelengkap organisasi, melainkan motor perubahan yang membawa nilai rahmatan lil ‘alamin ke ruang-ruang ekonomi, politik, dan budaya.
Pemikir Islam kontemporer seperti Fazlur Rahman menekankan pentingnya “reformulasi etika Islam” agar tidak kehilangan substansi keadilan sosial. Baginya, teks suci harus ditafsirkan dalam kerangka makna etisnya. Dalam konteks ini, membela hak-hak perempuan untuk terlibat dalam pembangunan nasional adalah bagian dari misi etis Islam itu sendiri.
Pembangunan: Jalan Sunyi Keadilan Gender
Pembangunan tanpa keadilan gender ibarat tubuh tanpa jiwa. Ia tumbuh secara kuantitatif, tapi kosong secara moral. Pandangan Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, sangat relevan di sini. Dalam bukunya Development as Freedom, ia menyatakan bahwa pembangunan sejati adalah pelepasan manusia dari berbagai bentuk ketertindasan, termasuk penindasan terhadap perempuan. Maka pembangunan yang adil bukanlah yang hanya meningkatkan PDB, tetapi yang memberi ruang bagi perempuan untuk menyuarakan, memimpin, dan mencipta.
Namun, jalan ini tidak mudah. Keadilan gender menuntut perubahan kultur, tafsir keagamaan, sistem hukum, dan struktur sosial. Dalam konteks HMI, ini berarti kaderisasi yang inklusif, kepemimpinan yang egaliter, dan keberanian menantang narasi patriarki yang masih membekap ruang gerak perempuan, baik di dalam himpunan maupun masyarakat luas.
Menuju Cita yang Membebaskan
Jika Insan Cita adalah cita tentang manusia merdeka yang mencipta peradaban, maka tidak ada peradaban yang akan lahir tanpa kebebasan dan peran aktif perempuan. Keadilan gender adalah uji autentik dari integritas ideologis HMI. Menuju 2045, pertanyaannya bukan lagi: “Apakah perempuan bisa memimpin pembangunan?” tetapi: “Apakah bangsa ini bersedia membebaskan diri dari belenggu ketimpangan agar perempuan bisa memimpin bersama?”
Perjuangan keadilan gender adalah perjuangan untuk memanusiakan manusia, seperti yang dikatakan Ali Syariati, bahwa “Setiap manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi, tanpa kecuali.” Maka memperjuangkan perempuan dalam pembangunan nasional adalah bagian dari jihad besar menuju Indonesia Emas yang tidak hanya cemerlang secara ekonomi, tetapi juga mulia secara moral.