Oleh: Andi Muh. Maulana Asmar
Peserta Advance Training LK III HMI Badko Sul-Sel
Absolute.co.id, (Opini) – Konflik pertambangan di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, adalah peringatan serius bagi negara hukum kita. Ketika masyarakat mempertahankan ruang hidup, negara justru hadir membawa legalitas korporasi, bukan perlindungan. Pohuwato menunjukkan wajah legislatif yang kian kehilangan nurani hukum yang sah secara prosedural, tapi abai terhadap keadilan sosial dan ekologi.
Pertanyaannya: hukum berpihak pada siapa?
Legal, Tapi Tidak Adil
Perusahaan tambang di Pohuwato memang mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) secara sah. Namun, ketika izin itu diterbitkan tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat, tanpa transparansi proses, dan tanpa pertimbangan dampak lingkungan, maka hukum itu sah, tetapi tidak adil.
Warga merasa terpinggirkan di atas tanah sendiri. Mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka. Di sisi lain, negara hadir seolah hanya sebagai penyambung kepentingan modal, bukan sebagai penjamin hak-hak konstitusional rakyat.
Legislasi yang Kehilangan Arah
Kasus Pohuwato mencerminkan bahwa proses legislasi dan perizinan kita terlalu teknokratik dan elitis. Legislasi sering hanya memproduksi aturan untuk kepastian investasi, bukan untuk menjamin keadilan ekologis atau hak masyarakat lokal.
Ketika hukum hanya bicara tentang kepastian hukum bagi investor, dan bukan kepastian perlindungan bagi rakyat, maka negara telah kehilangan arah. Legislasi kehilangan nuraninya ketika ia tak lagi berangkat dari nilai-nilai etik, dari suara rakyat, dan dari realitas ketimpangan struktural.
Legislasi Berkeadilan
Apa yang dibutuhkan bukanlah pelarangan tambang secara mutlak, melainkan legislasi yang adil yang memprioritaskan keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan. Legislasi berkeadilan artinya hukum disusun secara partisipatif, transparan, dan berpihak pada kelompok paling terdampak.
Pemerintah dan DPR perlu meninjau ulang UU Minerba dan aturan turunannya yang terlalu sentralistik dan minim perlindungan terhadap hak masyarakat adat dan petani lokal. Tidak semua legalitas adalah legitimasi. Jika aturan merugikan rakyat, ia layak dikoreksi.
Langkah Mendesak
Pertama, pemerintah harus membuka ruang dialog yang jujur dengan masyarakat Pohuwato dan menghentikan pendekatan represif terhadap aksi-aksi penolakan tambang. Kedua, audit independen harus dilakukan terhadap semua izin tambang di wilayah itu, termasuk dampaknya terhadap lingkungan dan sosial.
Ketiga, lembaga legislatif harus mengembalikan fungsinya sebagai penjaga keadilan, bukan perpanjangan tangan kepentingan ekonomi-politik elite. Dan terakhir, hukum harus menjadi alat koreksi structural bukan alat pengukuhan ketimpangan.
Kembali pada Nurani Hukum
Pohuwato memberi kita pelajaran: bahwa hukum tanpa keadilan adalah kekerasan yang dilembagakan. Legislasi tanpa nurani hanya akan menjadi instrumen untuk memperluas kekuasaan atas nama pembangunan. Sudah saatnya kita mengembalikan ruh hukum: melindungi yang lemah, menegakkan hak yang dilanggar, dan memastikan bahwa tidak ada satu pun warga negara yang dikorbankan atas nama pertumbuhan ekonomi.