Oleh: Andi Muh. Maulana AsmarPeserta Advance Training LK III HMI Badko Sul-Sel
Absolute.co.id, (Opini) – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi kemahasiswaan tertua dan terbesar di Indonesia tidak hanya dikenal sebagai wadah kaderisasi intelektual muslim, tetapi juga sebagai kekuatan sosial yang pernah memainkan peran penting dalam sejarah bangsa. Sejak didirikan pada tahun 1947, HMI telah memposisikan dirinya sebagai organisasi yang berkomitmen pada dua tujuan utama: mempertahankan negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Dalam konteks masyarakat sipil, posisi HMI menjadi sangat strategis. Namun, dalam praktiknya, terdapat ketegangan yang terus-menerus antara idealisme yang diusung oleh HMI dan realitas sosial-politik yang dihadapi hari ini.
Idealisme: Cita-cita Masyarakat Madani
Secara ideologis, HMI bercita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT, yang oleh banyak kalangan dikaitkan dengan konsep masyarakat madani—sebuah tatanan sosial yang menjunjung tinggi keadilan, demokrasi, dan partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan publik. Dalam kerangka ini, HMI mencoba menempatkan dirinya sebagai katalisator perubahan sosial, pembela kaum marginal, serta penjaga nilai-nilai moral dan etika publik.
Gagasan “Insan Cita” sebagai landasan kaderisasi menggambarkan harapan besar agar kader HMI menjadi manusia paripurna—berilmu, bertakwa, dan berkomitmen pada perjuangan umat dan bangsa. Ideal ini telah melahirkan banyak tokoh nasional dari berbagai spektrum ideologi dan profesi.
Realitas Sosial: Fragmentasi, Pragmatisme, dan Tantangan Struktural
Namun, realitas sosial menunjukkan bahwa masyarakat sipil di Indonesia—termasuk elemen organisasi kemahasiswaan—tengah menghadapi tantangan serius: fragmentasi sosial, oligarki politik, kooptasi kekuasaan, dan merosotnya kepercayaan publik terhadap organisasi masyarakat. HMI tidak kebal terhadap kondisi ini. Di berbagai tempat, kaderisasi mengalami stagnasi; orientasi kader kadang bergeser dari perjuangan ke personal advancement; bahkan, tidak sedikit yang terjebak dalam pragmatisme politik.
Kondisi ini diperparah oleh struktur organisasi yang terlalu terpusat, kompetisi yang tidak sehat antarkader, serta lemahnya pengembangan gagasan kritis yang berbasis pada kajian ilmiah dan data. Ironisnya, idealisme besar HMI seringkali tidak bersentuhan langsung dengan problem-problem riil masyarakat—seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, disinformasi digital, dan krisis ekologis
Saran
HMI perlu melakukan revitalisasi kaderisasi dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan berbasis riset sosial agar mampu menghadapi tantangan zaman. Organisasi ini juga harus memperkuat etika internal dan menjaga independensi dari pengaruh politik praktis untuk menghindari pragmatisme. Selain itu, HMI sebaiknya membangun kolaborasi yang kuat dengan berbagai elemen masyarakat sipil dan aktif terlibat dalam gerakan sosial yang berbasis komunitas. Pemanfaatan teknologi digital juga penting untuk memperluas literasi publik serta menyebarkan narasi kritis yang konstruktif. Terakhir, HMI harus terus memelihara kultur intelektual-kritis melalui forum-forum kajian dan keterlibatan aktif dalam diskursus kebangsaan guna memastikan idealisme tetap relevan dengan realitas sosial.